Ketika sebagian besar peternak ayam terlena dengan kokok ayam
broiler, ternyata kokok ayam kampung masih mempunyai harapan bagi para
peternak ayam.
Di tengah gempuran para pemodal besar yang siap menjamin pasar ayam
broiler, masih ada yang membuktikan produk kampung tidak berarti
rejekinya kampungan. Dari sebidang lahan di Kampung Burangkeng, Setu,
Bekasi, Bambang Krista membuktikan jika ayam kampung bisa menjadi rezeki
kota.
Berawal sejak tahun 1990, Bambang telah mulai menggeluti bisnis
ternak ayam tersebut. Mengawali karier dengan ayam broiler, akhirnya
lulusan Fakultas Peternakan Undip Semarang ini memutuskan beralih ke
ayam kampung. Peralihan itu disebabkan kondisi krisis 1998 yang
mengguncang kondisi penjualan ayam broiler, di mana harga pakannya naik
drastis mengikuti harga tukar dolar saat itu.
Akibatnya, banyak peternak yang kehabisan modal karena harga jual pun
ternyata jatuh. “Waktu itu ekonomi lagi sulit, orang beli beras saja
sudah bagus,”ucapnya. Namun, kondisi tersebut tidak mematahkan semangat
pria kelahiran 5 Oktober 1963 di Solo ini untuk bangkit kembali bersama
dengan bisnis peternakan ayam.
Pada tahun 2005 Bambang memulai usaha DOC (daily old chicken) atau
ayam umur sehari. DOC juga dikenal sebagai pithik di kalangan masyarakat
Jawa. Pada lahan seluas tiga hektar, usaha tersebut menyasar segmen
pasar secara umum. Baik itu pengusaha yang berniat melakukan
diversifikasi, ataupun para calon pengusaha ayam kampung yang ingin
belajar.
Dalam usahanya, pria asal Solo ini mempunyai tiga produk utama, yaitu
DOC, telur, dan ayam konsumsi. DOC juga dapat dibagi dua, yaitu kelas
super dan kelas murni. Sedangkan, ayam konsumsi dapat dibagi dua, yaitu
dalam kondisi hidup ataupun kondisi siap yang diolah.“Untuk DOC yang
kelas super itu, berarti ayam dari hasil persilangan dengan berbagai
jenis,”jelasnya.
Bambang juga menjelaskan jika di peternakannya dalam seminggu
produksi DOC dapat mencapai 40.000, kemudian telur bisa mencapai 10.000
butir. Sedangkan, produksi ayam konsumsi bisa melayani 1.500 per hari.
“Suplai ayam konsumsi untuk usaha ayam goreng di Jabodetabek,”ujarnya.
Dengan harga jual untuk DOC sebesar Rp4.000– 5.000 per ekor,
Rp1.200–1.500 per butir untuk telur, dan Rp25.000 Rp35.000/kg untuk ayam
konsumsi, serta Rp28.000/kg untuk ayam hidup. Walaupun sempat berat di
awal usahanya akibat sulitnya mencari pinjaman dalam memulai usaha ayam
kampung ini, kini ia boleh berbangga dengan omzetnya dalam sebulan yang
mampu menembus Rp400 juta.
Kondisi ini tentu saja berbeda dengan dulu, bahkan kini semakin
banyak tawaran berbagai bank untuk meminjamkan modal usaha kepadanya.
Sebelum berkembang menjadi produk DOC, Bambang memilih memulai usahanya
dengan produk telur ayam kampung. Pemilihan untuk berawal dari telur
karena telur lebih aman dibanding ayam, sehingga bagus jika kita baru
merintis usaha.
Produk telur dapat disimpan hingga jangka waktu tiga minggu, berbeda
dengan ayam yang harus segera dijual jika tidak mau pembeli lari karena
berat ayam yang tidak sesuai permintaan sedangkan telur cukup hanya
dengan mengawasi kondisi tempat penyimpanan. Keuntungan lainnya ialah
kita tidak perlu memperhatikan berat telur seperti ayam, jadi lebih
mudah dalam mengelolanya.
Dalam perkembangannya alumnus Undip ini melihat peluang yang dapat
dimanfaatkan. Hal tersebut ia sadari karena masih sedikit pengusaha ayam
yang mau menggarap breeding farm ayam kampung karena itu berarti
pengusaha hanya mendapatkan uang receh. Karena, konsumen ayam kampung
memang masih berada dalam skala menengah, dengan tingkat permintaan
300–500 ekor.
Berbeda dengan bisnis ayam broiler di mana pasar sudah terbentuk
mapan untuk konsumsi skala besar. Kondisi tersebut sering dianggap tidak
efektif bagi banyak pengusaha, sehingga malas untuk menggarapnya.
Sementara, Bambang tetap optimistis untuk menggarap pasar breeding farm
ayam kampung tersebut dan untuk itu ia harus sedikit repot dan sabar
mengurusi permintaan dari berbagai lokasi.
Kondisi tersebut membuat ia harus membina pelanggannya hingga
akhirnya saat ini ia mempunyai pembeli yang secara rutin membeli 4.000
ekor DOC setiap minggunya. “Walaupun ini uang receh, tapi kalau
dikumpulkan yalumayan juga,”ucapnya.
Pembinaan pelanggan ini betul-betul ia seriusi, hal ini dapat
terlihat dengan diterbitkannya beberapa buku mengenai pengelolaan usaha
ayam kampung oleh Bambang Krista. Membuat buku dan mengadakan pelatihan
ternyata menjadi sarana promosi yang efektif hingga saat ini.
Kegiatan tersebut memberikan keuntungan dalam dua arah, bagi Bambang
dan juga pelanggannya. Kegiatan tersebut berarti membuka peluang
seluasluasnya bagi semua orang yang ingin mencoba usaha ternak ayam
kampung.
Masih sepinya pasar breeding farm ayam kampung ini juga diakibatkan
kebijakan pemerintah yang menjaga korporasi besar untuk tidak turut
bermain dalam ternak ayam kampung. Jika pemodal besar ikut bermain, maka
dapat dipastikan para peternak lokal tidak akan mampu mengontrol harga
produk di pasar.