Kopi luwak atau Civet Coffee dalam istilah internasionalnya masih
belum banyak dikenal masyarakat Indonesia. Namun, ini yang mendorong
seorang Rudy Wiriaatmadja untuk membuat produk premium, menjadi ikon
negara, selayaknya wine bagi masyarakat Prancis.
Pemasaran dan sosialisasi produk khas Indonesia ini disebutnya sebuah pekerjaan yang lebh besar setelah produksi.
Pria
kelahiran Subang, Jawa Barat ini menuturkan, awal ketertarikan pada
bisnis kopi luwak setelah mengetahui kelompok tani di Pangalengan,
Bandung kesulitan memasarkan komoditas mereka. Sambil berakhir pekan di
kawasan selatan Bandung, dia mulai berinteraksi dengan kelompok tani di
sana sejak 2010 lalu.
Keinginannya semakin terpacu setelah
mengetahui sejarah panjang perkebunan kopi di sana adalah sejak zaman
Belanda. Bahkan, dalam sejarah pemerintah Belanda melarang petani lokal
mengambil kopi di pohonnya. Mereka hanya mengizinkan memungut yang jatuh
di tanah. "Itu adalah awal masyarakat kita mengenal kopi luwak karena
memang tidak berada di pohon. Biji kopinya merupakan hasil kotoran hewan
luwak," ujar Rudy.
Dia
menceritakan kopi luwak mulai terkenal di Indonesia dalam 5 tahun
terakhir. Sementara penikmat kopi di luar negeri, khususnya Inggris dan
Jepang, sudah sangat mengenal kopi asli Indonesia ini. Hal tersebut
terbukti dari film The Bucket List. Di dalam salah satu scene-nya, Jack
Nicholson menyebut kopi ini kepada Morgan Freeman.
Adegan film
hollywood ini sontak menaikkan pamor dan harga kopi luwak di kancah
internasional. Tidak banyak yang mengetahui bahwa luwak berasal dari
Indonesia, bahkan produsen di malaysia dan beberapa negara kawasan ASEAN
lainnya harus mengimpor dari sini. "Masyarakat luar negeri juga
mengenal Indonesia sebagai penghasil kopi luwak dari tayangan CNN
ataupun National Geographic," ujar pria kelahiran Desember 1964 ini.
Bermodalkan
Rp200 juta, pria yang juga menggeluti bisnis batu kerikil ini memulai
mengembangkan usaha barunya tersebut. Di awal usahanya, dia mengumpulkan
40 ekor luwak, lengkap dengan kandang, mesin pengemasan, dan gudang.
Menurutnya, soal produksi tidak jadi masalah dengan menggandeng petani
setempat.
Untuk produksi awal, dia mencatatkan 10 kg dengan harga
jual Rp2,5 juta per kg. Berbendera PT Indohaka Multienergi, Rudy memilih
merek produk Royal Lecagy dengan berbagai kemasan yang elegan. "Saya
sampai tiga kali ganti kemasan demi kesempurnaan setelah mendengar saran
konsumen di Hongkong," ujar pria yang sebulan sekali ke Hongkong ini.
Keunikan
produk luwak disebutnya terletak pada usus satu jari Luwak yang
mengurangi kadar keasaman pada kopi. Proses produksi pada luwak adalah
dengan memberikan makanan madu di pagi hari dan buah buahan di siang
hari. Sementara di malam hari barulah suguhan biji kopi matang java
arabica. Dari 1 kg yang disuguhkan biasanya luwak memilih yang terbaik
sebanyak setengahnya. Hal ini yang membuat kualitas kopi yang dihasilkan
dari kotoran luwak setiap pagi menjadi sangat berharga.
Hal unik
lainnya adalah luwak tidak bisa dipaksa untuk mengkonsumsi lebih banyak
kopi. Karena bisa mencederai anusnya. "Luwak sama seperti kita kalau
makan tidak bisa dipaksakan. Bahkan, di luar musim buah kopi, luwak
tidak memproduksi kopi. Jadi, ini yang membuatnya unik dan spesifik,"
ujar ayah dua putri ini.
Tantangan terberat di awal memasarkan
produk ini ialah menjelaskan proses produksi kopi yang unik ini karena
mengambil biji kopi dari kotoran luwak, sedangkan harganya mahal. Karena
itu, dia bersiasat untuk masuk dari penikmat kopi tulen yang mengerti
produk istimewa ini. Dari situ dia baru dapat memasarkan secara lebih
luas.
"Untuk tradisi Inggris dan China yang kuat dalam konsumsi
teh, kami terbantu oleh jaringan kopi Starbucks dan Coffee Bean. Segmen
anak muda di sana mulai menikmati kopi yang berarti peluang besar untuk
kami," ujarnya.
Namun, menambah jumlah luwak juga disebutnya tidak
segampang itu. Sebab, pemasaran yang eksklusif. Sementara menjual di
harga rendah disebutnya cukup merepotkan karena membuat produk tidak
terlalu laku di pasaran. Berikutnya, dia mulai menaikkan harga menjadi
Rp5 juta per kg, dan bertahan dengan produksi 80 kg per bulannya hingga
saat ini.
Bahkan, dalam salah satu pameran produsen asal Medan
menawarkan kopi luwak dengan kemasan yang biasa dan harga yang lebih
murah, namun justru tidak laku. "Produk ini tidak bisa dijual dengan
harga yang murah. Konsumen sudah mengetahui kalau harga luwak yang asli
itu mahal. Walaupun sama asli, tapi ini soal kekuatan brand dan
kemasan," ujarnya.
Saat ini, Rudy didukung 600 ekor luwak dengan
bekerja sama koperasi dan 10 orang petani setempat. Strategi pemasaran
dijelaskannya langsung menyasar pasar Hongkong, karena di sana tempat
berkumpulnya pedagang dari berbagai belahan dunia. Atas multi ras
tersebut, dia juga menggunakan Hongkong sebagai standar citarasa kopi
pekat yang dijualnya.
Di hongkong akhirnya dia rutin mengikuti
berbagai pameran dagang beberapa kementerian ke berbagai negara. Hingga
saat ini, produknya telah diterima di Hongkong, China, India, Prancis,
dan Malaysia. Di China bahkan dia menyasar empat kota yang memiliki
pertumbuhan orang kaya yang signifikan, seperti Beijing dan Guangzhou.
"Kunci penjualan saya adalah mengandalkan pemasaran dengan pengalaman
mencicipi langsung sehingga lebih diingat," ujarnya.
Sementara di
dalam negeri tidak ketinggalan, dia pun mulai memasok produk ke jaringan
kedai kopi lokal walaupun tidak menggunakan mereknya. Impian Rudy tahun
ini, disebutnya juga ingin membangun jaringan waralaba kedai kopi
dengan mengusung merek dan produknya sendiri.
Di dalam negeri,
produk ini dijual di Kedai Sangkuriang miliknya dengan harga Rp50 ribu
per sachet. Sedangkan di hongkong bisa mencapai Rp400 ribu per gelas. Di
gerai kedai kopi lokal lainnya sudah dijual dengan harga Rp120 ribu.
"Dengan harga yang lumayan tinggi kami rasanya masih butuh waktu untuk
penetrasi pasar dalam negeri. Tapi, kami sudah mendapatkan sertifikasi
halal MUI dan akan menambah tiga serifikasi lainnya supaya lebih pede,"
ujarnya.