Pasar bumbu dan rempah-rempah ternyata masih memiliki peluang besar. Lihat saja PT Dwipa Jawa Spices, eksportir bumbu dan rempah-rempah ini sudah mecobanya.
Chief Executif Officer Dwipa Jawa Spices John S Tumiwa, mengaku pertama kali berlabuh dalam pameran domestik ternyata menjadikan prospek pasar ekspor yang sempat melempem akibat krisis 1998, bangkit lagi dengan kekuatan ganda.
Setidaknya itu yang dialami John, sejak berdiri tahun 2004, perusahaan trading bumbu dan rempah-rempah dengan merek Java Spices ini memiliki pangsa di Amerika dan Eropa.
"Terus terang saya tidak begitu percaya dengan pasar dalam negeri. Apalagi pameran internasional. Saya pikir tak ada pembeli di sana," akunya pesimistis.
Tetapi penundaan kontrak ekspornya di dua benua adidaya, AS, Inggris, dan Prancis membuatnya putar haluan. Mandeknya ekspor ke luar berarti ancaman bagi 3.500 petani organik binaannya di Sukabumi dan Minahasa Tenggara. John ikut pameran dalam negeri agar ada kesempatan menjaring pasar baru bagi produk yang ia beri nama Java Spices.
Pertama kali ikut pameran Trade Expo Indonesia, John terkaget-kaget. Betapa tidak, dia menjaring konsumen yang sangat besar. Pengusaha dalam negeri dari pedagang besar dan supermarket besar dalam negeri mengagumi produknya yang unik. "Banyak yang menyambangi stan kami dan menjalin kerjasama dengan kami sejak hari pertama," urainya.
Supermarket besar seperti SOGO dan KemChik. Ada beberapa nama yang kini ia kantongi sebagai mitra. Pasar yang semuanya diekspor ke luar negeri kini 60 persennya dilempar ke pasar nasional. "Peluang dalam negeri masih sangat besar, ini kejutan yang sangat menyenangkan,".
Dari 3.500 petani binaan, sekitar 1.292 petani telah mendapat sertifikasi lembaga sertifikasi bahan organik dunia, Control Union, sementara sisanya sedang dalam proses untuk memperolehnya. Kapasitas produksi bulanan sekitar 3.500 ton per minggu dengan 40 jenis bumbu dan rempah-rempah asli Indonesia siap dipasarkan dengan kemasan cantik.
Jenis Bumbu dan rempah yang ia pasarkan antara lain cabe, merica, jahe, kayu manis hingga produk pesanan seperti mengkudu. Adanya permintaan ini, membuatnya mengintensifkan kapasitas produksinya di dua tempat itu.
Pria berkacamata ini optimistis mampu meraup kue pasar domestik yang baru ia cicipi. Resep jitunya pertama adalah tampilan menarik. "Kesan pertama orang terhadap produk kami sangat cantik, bahkan Ibu Menteri Perdagangan juga memuji," katanya.
Kedua, adanya persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dulu, John bercerita, sangat sulit mengurusi izin dari Badan yang satu ini. Bahkan dirinya mesti menunggu selama satu tahun.
Tetapi dicekalnya produk-produk dari luar dan ajakan cinta produk Indonesia membawa berkah sendiri. "Pengurusan izin hanya 30 hari. Begitu kami punya ikon yang tercetak di produk, langsung mendapat sambutan dari pengusaha lokal karena itu jaminan usaha di Indonesia," katanya berseri-seri.
Kualitas menjadi andalan lainnya. Untuk memperoleh pengakuan lembaga mutu organik internasional dari Belanda, selama tiga tahun dirinya harus mengikuti proses penilaian air, tanah, lingkungan sekitar, pohon, buah sampai ke tempat prosesnya selama tiga tahun.
Berkah lain, pembeli dari pasar-pasar yang tak pernah ia duga sebelumnya mendatangi dengan minat tak kalah tinggi. Pembeli dari Eropa Timur, Afrika, dan Asia membuka matanya. Pembeli asal Rusia, Cina, Korea, Afrika, Bulgaria aktif bernegosiasi menjemput produknya untuk dijual di negara masing-masing.
Hingga hari ketiga, sudah ada tiga pembeli asing yang mengharap pasokan The Java Spices. Dengan mempertahankan kualitas, masa depan usahanya masih sangat cerah sebab menurutnya barang jualannya dibutuhkan setiap hari sehingga kontraknya bakal berlanjut dalam jangka lama.
"Nilainya memang belum final, tetapi ini menjadi angin segar bagi usaha saya, di tengah krisis global ternyata saya mendapat pasaran yang sangat empuk," katanya.
Bosan menjadi penjual mobil, Tommy Sutomo bertekad membuka bisnis sendiri. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya, ia mantap menggeluti bisnis komoditas. Kini, ia rutin memasok rempah-rempah ke berbagai perusahaan di dalam negeri.
Kesuksesan akan datang ketika orang berusaha keras dan pantang menyerah. Tommy Sutomo, pemilik PT Semesta Alam Petro, kenyang dengan pengalaman jatuh-bangun membangun bisnis. Namun, setiap kali gagal, ia berhasil bangkit. Kini, ia bisa menikmati buah dari semua usaha kerasnya itu.
Saat ini, Tommy yang merupakan sarjana sastra lulusan Universitas Diponegoro sudah sukses menjadi pemasok pelbagai produk rempah ke sejumlah perusahaan obat dan makanan minuman. PT Sido Muncul, Grup Orang Tua, dan Grup Mustika Ratu secara rutin membeli rempah dari Tommy. Ia juga mengekspor ke beberapa negara. Dengan jangkauan pasar seluas itu, omzet usahanya mencapai Rp 500 juta per bulan.
Untuk meraih sukses seperti sekarang, Tommy harus berjuang. Sejak kecil, sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara, ia sudah terbiasa hidup prihatin. Maklum, gaji ayah ibunya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Blora, Jawa Tengah, selalu habis untuk biaya sekolah anak-anak. Maka, orangtuanya bertekad menyekolahkan semua anaknya sampai meraih gelar sarjana.
Alhasil, Tommy kecil hidup serba pas-pasan. Ia dan saudaranya hanya memiliki sepasang seragam dan sepatu sekolah. Mereka terbiasa makan tiwul lantaran tak ada cukup duit buat membeli beras. Lauk-pauk yang paling istimewa adalah telur ceplok yang dibagi empat.
Meski tergolong anak nakal, Tommy kecil cukup pintar. Ia selalu meraih peringkat pertama saat di sekolah dasar. Ia juga mulus masuk ke SMP dan SMA. Selulus SMA, Tommy berhasil masuk universitas negeri lantaran prestasi belajarnya.
Nah, sembari kuliah di Semarang, pria yang baru saja berulangtahun pada 11 Maret lalu ini rajin mencari tambahan uang saku dengan berjualan gorengan. “Saya membeli sendiri tahu dan pisang ke pasar, membuat bumbu, dan jualan gorengan di dekat kampus,” kenang Tommy. Ia juga melayani order terjemahan ke bahasa Inggris dan membantu pembuatan skripsi.
Meski telah menjalani rupa-rupa kerja sejak kuliah, Tommy baru menggeluti pekerjaan sesungguhnya selepas lulus kuliah di 1990. Ia mendapat kesempatan bekerja sebagai tenaga penjual Grup Astra International. Targetnya adalah menjual mobil Daihatsu sebanyak-banyaknya. “Orang miskin dari kampung, kok, disuruh jualan mobil,” kenangnya sambil tergelak.
Bosan jadi pegawai
Toh, Tommy tak menyerah. Bahkan, ia berhasil menjaring pesanan 50 mobil dari institusi pemerintah. Berkat keuletannya, ia hanya butuh lima tahun untuk menjadi supervisor. Tak lama berselang, ia ditunjuk menjadi kepala cabang Astra International di Yogyakarta.
Bosan menjadi bawahan orang, setelah 12 tahun berjualan mobil, pada 2003, Tommy mengundurkan diri dan membuka usaha jual-beli mobil sendiri. Tapi, belum sempat mendapat untung, ia sudah tertipu dan kehilangan puluhan juta rupiah.
Tommy lantas beralih ke bisnis tanaman hias. Saat itu, anturium sedang booming. Dengan modal sekitar Rp 1 juta, ia membeli 1.000 anakan gelombang cinta. Ia lantas menjual tanaman itu seharga Rp 5.000 hingga Rp 50.000 per unit. Dari bisnis ini, ia untung besar.
Tommy pun memantapkan usahanya ke sektor agribisnis. Ia kepincut menggarap usaha jarak pagar untuk biodiesel. Tapi, lantaran belum berpengalaman, usahanya gagal dan ia merugi hingga Rp 400 juta. Ia terpaksa menjual rumahnya untuk menutupi kerugian.
Beruntung, sang kakak yang bekerja di Telkom menawari posisi staf pengajar di PT Telkom, Bandung. Ia mengajar para pensiunan dini Telkom mengelola uang dan menjadi pengusaha selama enam bulan.
Sambil mengajar, pada 2007, Tommy mulai berbisnis teh bunga rosela. Ia memodali petani di Semarang untuk menanam bunga ini dan menjualnya lewat internet. “Kualitas hasil panen saya lebih bagus dan permintaan ekspor terus bertambah,” ungkapnya.
Tapi, Tommy sempat merugi lagi saat berbisnis markisa. Lantaran mendapat pesanan dari pembeli di Amerika Serikat, ia menyiapkan lahan dan menanam markisa. Saat sudah dipanen dan siap dikirim, pembeli membatalkan kontrak. “Saya merugi Rp 200 juta,” ujarnya. Ia terpaksa mengirim sisa markisa yang belum busuk ke Makassar untuk dijadikan sirop.
Tommy lantas menanami lahan bekas markisa dengan jahe dan rempah-rempah untuk melayani pesanan dari Eropa dan industri dalam negeri. Total, per bulan, ia bisa menjual sekitar 1.000 ton. Selain dari kebun sendiri, ia juga memberdayakan para petani di Temanggung, Pekalongan, Blora, dan Yogyakarta. Total luas lahannya sekitar 700 hektare.
Kini, selain lahan khusus untuk jahe dan rempah-rempah, Tommy juga memiliki 6.000 meter persegi lahan ditanami kelapa. Hasilnya berupa kopra ia kirim ke Surabaya. Tiap bulan, ia bisa memasok hingga 20 ton kopra.