Siapa sangka keripik belut disukai orang mancanegara? Namun itulah
kenyataan yang diungkapkan Sutarto, pengusaha keripik belut warga
Sanggrahan, Kalurahan Joho, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sesuai dengan
kesepakatan pembeli asal Australia, setiap bulan dirinya harus
mengirimkan 1 kontainer keripik. Jika 1 kontainer berisi keripik 1 ton,
setiap hari dia harus memproduksi 226 kg. Padahal, saat ini usahanya
hanya mampu memproduksi 100 kg. ''Ini memang tantangan berat bagi kami.
Tetapi bagaimanapun bertekad memenuhi pesanan itu,'' ujarnya.
Dia
mengaku merintis usaha keripik belut karena coba-coba. Semula karyawan
Kecamatan Sukoharjo itu merintis bisnis jual beli mobil. Namun usahanya
menurun seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bahkan
akhirnya dia memilih menutup usahanya karena rugi.
Setelah vakum
beberapa saat, ayah Pratama Agung Nugroho dan Primawan Dwi Nugroho ini
mencoba menekuni penjualan belut segar. Alasannya, dia melihat banyak
pencari belut di Sukoharjo yang kesulitan dalam hal pemasaran. Lalu dia
menampung belut-belut tersebut dan menjualnya kembali kepada para
perajin keripik.
Setiap hari dia bisa memasok ratusan kilogram
belut kepada para perajin keripik belut di Sukoharjo, Klaten, Yogya,
hingga Tasikmalaya. Meskipun semula lancar, usahanya menghadapi kendala
cukup besar. Pesanan rutin yang diharapkan selalu datang ternyata
terkadang lowong. ''Akibatnya, saya menanggung kerugian cukup besar.
Bagaimana tidak, sekitar 1,5 kuintal belut segar tak bisa dipasarkan,''
seperti dikutip dari Suara Merdeka.
Cobaan tersebut toh
tidak membuatnya patah semangat. Malah sebaliknya, muncul keinginan
untuk menggoreng belut yang masih ada. Saat itu juga dia belajar cara
membuat keripik belut kepada tetangganya yang menjadi perajin keripik
belut.
Sampai di rumah, dia segera mempraktikkan apa yang telah
dipelajarinya. Setelah matang, dicobanya untuk mengetes rasa keripik
tersebut. Merasa belum puas, kembali dia menggoreng dengan tambahan
bumbu sendiri. ''Ternyata rasanya enak, sehingga resepnya saya gunakan
hingga sekarang.''
Dengan semangat tinggi, keripik produknya
dipasarkan kepada beberapa bakul. Beberapa hari kemudian setelah dicek,
keripik belut buatannya laku keras. Bahkan para bakul minta tambahan
pasokan. Hal ini membuatnya makin optimistis dalam menjalani profesi
baru.
''Apalagi ketika beberapa swalayan besar di Solo, Yogya, dan
Jakarta meminta untuk memasok keripik belut buatan saya. Saya makin
optimistis.''
Sukses merambah swalayan, Sutarto pun melirik pasar
antarpulau. Perlahan namun pasti, usaha yang dikelola sejak 1,5 tahun
lalu terus berkembang. Keripik buatannya mampu menembus pasar di
Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Dia kemudian merekrut tenaga khusus di
bidang pemasaran, penggorengan, dan pemilihan bahan baku. ''Untuk
melayani pesanan, saya mempekerjakan 10 karyawan yang dibayar di atas
UMR.''
Usahanya makin melejit ketika datang pesanan dari
Australia. Di sisi lain, dirinya juga menghadapi tantangan sangat besar,
karena harus mampu menjaga mutu dan kualitas, sekaligus menjaga
konsistensi pemasokan sesuai kesepakatan dengan pembeli.
Kunci
untuk menghasilkan keripik yang enak, harus dipilih belut tangkapan di
sawah. Bukan sebaliknya, menggunakan belut hasil budi daya yang
menggunakan pakan yang mengandung bahan kimia. Uniknya, meski omzetnya
mencapai puluhan juta rupiah setiap hari, dia enggan berhubungan dengan
bank.
''Semua masih saya cukupi dengan modal sendiri. Namun entah
nanti kalau kekurangan modal, mungkin saya terpaksa pinjam bank,''
katanya.