Pembudidayaan talas satoimo di Indonesia masih dalam tahap mencari pola yang sesuai dengan kontur tanah. Tapi, dengan budidaya yang tepat, lima tahun ke depan Indonesia bisa bersaing dengan China menjadi pengekspor satoimo ke Jepang. Peluang ekspornya pun kian terbuka lebar.
Tingginya permintaan dari Jepang membuka peluang budidaya talas satoimo semakin lebar. Maklum, tanaman sejenis umbi-umbian yang kerap disebut talas jepang ini merupakan alternatif makanan pokok masyarakat di Negeri Sakura.
Potensi budidaya talas satoimo sangat prospektif. Pasalnya, permintaan talas ini di pasar luar negeri cukup besar, terutama dari Jepang. Di tahun lalu, tercatat permintaan Jepang terhadap komoditas ini mencapai 480.000 ton per tahun. China, salah satu negara pengekspor talas satoimo terbesar saat ini, belum mampu memenuhi permintaan tersebut.
Untuk menutupi kebutuhan itu, Pemerintah Jepang pun menawarkan proyek kerjasama budidaya talas satoimo kepada pemerintah sejumlah negara. Salah satunya Indonesia. Maka, pada 2006, Konsorsium Satoimo Indonesia-Jepang terbentuk.
CV Agro Lawu Internasional bertindak menjadi salah satu perusahaan penyalur bibit ke petani dan pembeli hasil panen dari petani. Bekerjasama dengan petani di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, Agro Lawu membudidayakan satoimo sejak lima tahun lalu.
Menurut Andi Christanto, pemilik CV Agro Lawu Internasional, saat ini perusahaannya mengolah 30 hektare lahan budidaya satoimo di Malang, Jawa Timur. Dari lahan seluas itu bisa ditanami sekitar 600.000 talas satoimo. "Saya bisa melakukan dua kali panen dalam setahun," ujarnya.
Selain membudidayakan sendiri, Agro Lawu juga menjual bibit satoimo. Dalam setahun, Argo Lawu bisa menjual 1,5 juta bibit kepada pembudidaya di berbagai daerah seperti Makasar, Bali dan Jawa. Dengan harga jual Rp 700 per bibit, Argo Lawu bisa meraih omzet sekitar Rp 1,05 miliar per tahun.
Andi mengklaim, saat ini satoimo menjadi komoditas agribisnis yang menguntungkan. Selain berpeluang menjadi komoditas ekspor, satoimo juga bisa menjadi alternatif produk pertanian untuk mengatasi masalah ketahanan pangan nasional.
Apalagi, tanaman pangan seperti padi dan jagung, cukup sulit bertahan dengan ketidakpastian musim seperti sekarang, yang terimbas dampak pemanasan global. Sementara, talas satoimo cenderung lebih bandel. Tanaman ini bisa hidup kembali, meskipun dengan karakter musim yang berbeda dari sebelumnya.
Namun, imbuh Andi, budidaya satoimo di Indonesia terkendala lahan yang terbatas. Selain itu, sistem pembudidayaannya belum tepat. Akibatnya, hasil panen belum maksimal. Setiap satu hektare lahan budidaya satoimo di Indonesia baru bisa menghasilkan sekitar 20 ton talas per panen. "Sementara China bisa menghasilkan dua kali lipat dari itu," imbuh Andi.
Minimnya hasil panen budidaya satoimo di Indonesia juga diakui Samsul A.Yani, Kepala Laboratotium Kultur Jaringan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Seameo Biotrop Bogor. Dia bilang, belum lama ini Jepang pernah meminta pasokan sebanyak 100.000 ton satoimo per bulan dari Indonesia. "Tapi, kami belum bisa memenuhi karena kapasitas produksi masih di bawah permintaan," katanya.
Namun, kata Andi, saat ini pembudidaya sudah menemukan pola penanaman yang paling tepat agar hasilnya maksimal. "Tingkat produktivitas tumbuh 80% dari sebelumnya 25%," katanya.
Sebelumnya, Bupati Bantaeng HM Nurdin Abdullah berharap jadwal ekspor talas ke Jepang tidak mengalami penundaan dari jadwal April tahun ini.
Saat berbicara pada perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Masjid Nuraeny Abdullah, Bupati yang juga membangun masjid itu sebelum terpilih menjadi orang nomor satu di Bantaeng mengatakan, dalam 1,5 tahun kepemimpinannya, banyak hal yang sudah bisa dirasakan masyarakat.
Ia kemudian menyebut pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Barua yang kini sudah dinikmati masyarakat Pa'jukukang.
Kehadiran IPA Barua yang menghabiskan dana Rp14 miliar tersebut membuat masyarakat Pa'jukukang yang selama ini kesulitan air bersih, kini sudah tidak lagi. Demikian pula dengan Cekdam Balang Sikuyu.
Kehadiran cekdam tersebut sudah bisa mencegah banjir yang selama ini menjadi langganan di Kota Bantaeng. Cekdam multi fungsi tersebut juga dibangun dengan menghabiskan anggaran Rp12 miliar.
Selain itu, untuk pengembangan kota, dilakukan revitalisasi pantai seluas lima hektare yang menghabiskan dana Rp16 miliar. Pembangunan sejumlah fasilitas tersebut menggunakan dana pusat sebab APBD Bantaeng hanya cukup untuk bayar gaji pegawai.
Daerah berjuluk Butta Toa ini juga sudah memiliki industri pengolahan ikan kerjasama perusahaan Jepang PT Global Seafood International Indonesia (GSII). Industri pengolahan ikan tersebut berkapasitas 40 ton/hari.
Untuk pasokan bahan bakunya, industri yang berpangkalan di Kecamatan Pa'jukukang itu memperoleh ikan dari berbagai provinsi di Indonesia, termasuk dari Kalimantan , Sulteng, Sulbar dan berbagai kabupaten di Sulsel.
Bupati Bantaeng berharap, peringatan kelahiran dan wujud dari kecintaan kita tehadap Nabi Muhammad SAW ini menjadi pemicu untuk berperilaku yang baik di tengah masyarakat.
"Kita harus bisa mengikuti perilaku Nabi Muhammad SAW agar kita mendapat berkah dan keluar dari kemiskinan," tandasnya seraya mengemukakan berbagai kemudahan yang diarahkan ke desa seperti kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bisa membantu masyarakat.
Bila semua program berjalan sesuai rencana, Insya Allah tahun 2012 tidak ada lagi kemiskinan di daerah ini. Bahkan di bidang kesehatan sudah disiapkan ambulance yang siaga 24 jam.
"Cukup menghubungi nomor telepon 113, ambulance bersama dokter dan perawat akan datang," tambah Nurdin Abdullah yang mengatakan, ambulance yang digunakan untuk membantu masyarakat merupakan bantuan dari Ehime Toyota Jepang.
ANALISA USAHA (1 HA, 6 bulan)
I. BIAYA
1. Sewa lahan (6 bulan) Rp. 1.000.000,-
2. Persiapan dan Pengolahan Lahan Rp. 2.500.000,-
3. Bibit 25.000 umbi @ Rp.300,- Rp. 7.500.000,-
4. Kompos 10 ton @ Rp.500,-/kg Rp. 5.000.000,-
5. Pupuk NPK 250 kg @ Rp4.000 Rp. 1.000.000,-
6. Obat-obatan/pestisida Rp. 1.000.000,-
7. Upah Tenaga Kerja
a. Pembibitan 25 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 375.000,-
b. Penanaman 25 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 375.000,-
c. Pemeliharaan 25 HOK @ Rp.15.000,- (3 x) Rp. 1.125.000,-
d. Panen 50 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 750.000,-
e. Pasca panen 50 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 750.000,-
Total Biaya Langsung Rp. 21.375.000,-
8. Biaya Modal 18% per tahun (6/12 x 18% x Rp.21.375.000) Rp. 1.923.750,-
Total Biaya Rp. 23.298.750,-
II. PENDAPATAN (Asumsi Hasil Panen 20.000 Kg/HA;
Harga Satoimo Rp.2000/kg)
20.000 Kg x Rp. 2.000,- Rp. 40.000.000,-
III. KEUNTUNGAN (per HA) Rp. 16.701.250,-
PEMESANAN BIBIT DAN KONSULTASI GRATIS
Informasi lebih lanjut dan pemesanan bibit hubungi :
Samsul A. Yani (HP 08129079245), email : samsul@biotrop.org
Erina Sulistiani (HP 08129601934), email : esulistiani@biotrop.org
Tissue Culture-Services Laboratory, SEAMEO BIOTROP
Jl. Raya Tajur Km 6, PO BOX 116 Bogor 16000
Tel/Fax : 62 251 8357175
PEMBELI HASIL PANEN SATOIMO, hubungi :
Rahedi Soegeng (HP 08158883578)
Konsorsium Satoimo Talas Jepang
Graha Niaga 3rd Floor
Jl. Jend. Sudirman, Kav. 58 Jakarta 12190
Tel/Fax: 62 21 2505402
Tingginya permintaan dari Jepang membuka peluang budidaya talas satoimo semakin lebar. Maklum, tanaman sejenis umbi-umbian yang kerap disebut talas jepang ini merupakan alternatif makanan pokok masyarakat di Negeri Sakura.
Potensi budidaya talas satoimo sangat prospektif. Pasalnya, permintaan talas ini di pasar luar negeri cukup besar, terutama dari Jepang. Di tahun lalu, tercatat permintaan Jepang terhadap komoditas ini mencapai 480.000 ton per tahun. China, salah satu negara pengekspor talas satoimo terbesar saat ini, belum mampu memenuhi permintaan tersebut.
Untuk menutupi kebutuhan itu, Pemerintah Jepang pun menawarkan proyek kerjasama budidaya talas satoimo kepada pemerintah sejumlah negara. Salah satunya Indonesia. Maka, pada 2006, Konsorsium Satoimo Indonesia-Jepang terbentuk.
CV Agro Lawu Internasional bertindak menjadi salah satu perusahaan penyalur bibit ke petani dan pembeli hasil panen dari petani. Bekerjasama dengan petani di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, Agro Lawu membudidayakan satoimo sejak lima tahun lalu.
Menurut Andi Christanto, pemilik CV Agro Lawu Internasional, saat ini perusahaannya mengolah 30 hektare lahan budidaya satoimo di Malang, Jawa Timur. Dari lahan seluas itu bisa ditanami sekitar 600.000 talas satoimo. "Saya bisa melakukan dua kali panen dalam setahun," ujarnya.
Selain membudidayakan sendiri, Agro Lawu juga menjual bibit satoimo. Dalam setahun, Argo Lawu bisa menjual 1,5 juta bibit kepada pembudidaya di berbagai daerah seperti Makasar, Bali dan Jawa. Dengan harga jual Rp 700 per bibit, Argo Lawu bisa meraih omzet sekitar Rp 1,05 miliar per tahun.
Andi mengklaim, saat ini satoimo menjadi komoditas agribisnis yang menguntungkan. Selain berpeluang menjadi komoditas ekspor, satoimo juga bisa menjadi alternatif produk pertanian untuk mengatasi masalah ketahanan pangan nasional.
Apalagi, tanaman pangan seperti padi dan jagung, cukup sulit bertahan dengan ketidakpastian musim seperti sekarang, yang terimbas dampak pemanasan global. Sementara, talas satoimo cenderung lebih bandel. Tanaman ini bisa hidup kembali, meskipun dengan karakter musim yang berbeda dari sebelumnya.
Namun, imbuh Andi, budidaya satoimo di Indonesia terkendala lahan yang terbatas. Selain itu, sistem pembudidayaannya belum tepat. Akibatnya, hasil panen belum maksimal. Setiap satu hektare lahan budidaya satoimo di Indonesia baru bisa menghasilkan sekitar 20 ton talas per panen. "Sementara China bisa menghasilkan dua kali lipat dari itu," imbuh Andi.
Minimnya hasil panen budidaya satoimo di Indonesia juga diakui Samsul A.Yani, Kepala Laboratotium Kultur Jaringan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Seameo Biotrop Bogor. Dia bilang, belum lama ini Jepang pernah meminta pasokan sebanyak 100.000 ton satoimo per bulan dari Indonesia. "Tapi, kami belum bisa memenuhi karena kapasitas produksi masih di bawah permintaan," katanya.
Namun, kata Andi, saat ini pembudidaya sudah menemukan pola penanaman yang paling tepat agar hasilnya maksimal. "Tingkat produktivitas tumbuh 80% dari sebelumnya 25%," katanya.
Sebelumnya, Bupati Bantaeng HM Nurdin Abdullah berharap jadwal ekspor talas ke Jepang tidak mengalami penundaan dari jadwal April tahun ini.
Saat berbicara pada perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Masjid Nuraeny Abdullah, Bupati yang juga membangun masjid itu sebelum terpilih menjadi orang nomor satu di Bantaeng mengatakan, dalam 1,5 tahun kepemimpinannya, banyak hal yang sudah bisa dirasakan masyarakat.
Ia kemudian menyebut pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Barua yang kini sudah dinikmati masyarakat Pa'jukukang.
Kehadiran IPA Barua yang menghabiskan dana Rp14 miliar tersebut membuat masyarakat Pa'jukukang yang selama ini kesulitan air bersih, kini sudah tidak lagi. Demikian pula dengan Cekdam Balang Sikuyu.
Kehadiran cekdam tersebut sudah bisa mencegah banjir yang selama ini menjadi langganan di Kota Bantaeng. Cekdam multi fungsi tersebut juga dibangun dengan menghabiskan anggaran Rp12 miliar.
Selain itu, untuk pengembangan kota, dilakukan revitalisasi pantai seluas lima hektare yang menghabiskan dana Rp16 miliar. Pembangunan sejumlah fasilitas tersebut menggunakan dana pusat sebab APBD Bantaeng hanya cukup untuk bayar gaji pegawai.
Daerah berjuluk Butta Toa ini juga sudah memiliki industri pengolahan ikan kerjasama perusahaan Jepang PT Global Seafood International Indonesia (GSII). Industri pengolahan ikan tersebut berkapasitas 40 ton/hari.
Untuk pasokan bahan bakunya, industri yang berpangkalan di Kecamatan Pa'jukukang itu memperoleh ikan dari berbagai provinsi di Indonesia, termasuk dari Kalimantan , Sulteng, Sulbar dan berbagai kabupaten di Sulsel.
Bupati Bantaeng berharap, peringatan kelahiran dan wujud dari kecintaan kita tehadap Nabi Muhammad SAW ini menjadi pemicu untuk berperilaku yang baik di tengah masyarakat.
"Kita harus bisa mengikuti perilaku Nabi Muhammad SAW agar kita mendapat berkah dan keluar dari kemiskinan," tandasnya seraya mengemukakan berbagai kemudahan yang diarahkan ke desa seperti kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bisa membantu masyarakat.
Bila semua program berjalan sesuai rencana, Insya Allah tahun 2012 tidak ada lagi kemiskinan di daerah ini. Bahkan di bidang kesehatan sudah disiapkan ambulance yang siaga 24 jam.
"Cukup menghubungi nomor telepon 113, ambulance bersama dokter dan perawat akan datang," tambah Nurdin Abdullah yang mengatakan, ambulance yang digunakan untuk membantu masyarakat merupakan bantuan dari Ehime Toyota Jepang.
ANALISA USAHA (1 HA, 6 bulan)
I. BIAYA
1. Sewa lahan (6 bulan) Rp. 1.000.000,-
2. Persiapan dan Pengolahan Lahan Rp. 2.500.000,-
3. Bibit 25.000 umbi @ Rp.300,- Rp. 7.500.000,-
4. Kompos 10 ton @ Rp.500,-/kg Rp. 5.000.000,-
5. Pupuk NPK 250 kg @ Rp4.000 Rp. 1.000.000,-
6. Obat-obatan/pestisida Rp. 1.000.000,-
7. Upah Tenaga Kerja
a. Pembibitan 25 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 375.000,-
b. Penanaman 25 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 375.000,-
c. Pemeliharaan 25 HOK @ Rp.15.000,- (3 x) Rp. 1.125.000,-
d. Panen 50 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 750.000,-
e. Pasca panen 50 HOK @ Rp.15.000,- Rp. 750.000,-
Total Biaya Langsung Rp. 21.375.000,-
8. Biaya Modal 18% per tahun (6/12 x 18% x Rp.21.375.000) Rp. 1.923.750,-
Total Biaya Rp. 23.298.750,-
II. PENDAPATAN (Asumsi Hasil Panen 20.000 Kg/HA;
Harga Satoimo Rp.2000/kg)
20.000 Kg x Rp. 2.000,- Rp. 40.000.000,-
III. KEUNTUNGAN (per HA) Rp. 16.701.250,-
PEMESANAN BIBIT DAN KONSULTASI GRATIS
Informasi lebih lanjut dan pemesanan bibit hubungi :
Samsul A. Yani (HP 08129079245), email : samsul@biotrop.org
Erina Sulistiani (HP 08129601934), email : esulistiani@biotrop.org
Tissue Culture-Services Laboratory, SEAMEO BIOTROP
Jl. Raya Tajur Km 6, PO BOX 116 Bogor 16000
Tel/Fax : 62 251 8357175
PEMBELI HASIL PANEN SATOIMO, hubungi :
Rahedi Soegeng (HP 08158883578)
Konsorsium Satoimo Talas Jepang
Graha Niaga 3rd Floor
Jl. Jend. Sudirman, Kav. 58 Jakarta 12190
Tel/Fax: 62 21 2505402