Bagi sebagian orang, usaha ini mungkin dianggap sepele: menggoreng wader (ikan air tawar ukuran kecil). Namun, berkat usaha ini, Supriyadi (47), warga Dusun Santan, Guwosari, Panjangan, Bantul, meraup omzet Rp 90 juta per bulan dan memberi sumber nafkah bagi 12 pekerjanya.
Wader goreng produksi Supriyadi telah beredar di 79 toko oleh-oleh dan rumah makan di kawasan Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kini, rata-rata dalam satu hari Supriyadi menggoreng 200 kilogram wader dan selalu habis terjual. Tak ada yang menyangka usaha yang dirintis Supriyadi dengan modal awal Rp 60.000 ini berkembang pesat.
Supriyadi memulai usaha wader goreng pada tahun 2000. Sebelumnya, ia bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia tahun 1998 membuat Supriyadi kehilangan pekerjaannya karena terkena pemutusan hubungan kerja.
Supriyadi pun memutuskan kembali ke kampung halamannya di Bantul, DI Yogyakarta, dan meninggalkan Jakarta.
Di kampungnya, Supriyadi tertarik dengan usaha yang digeluti mertuanya, yakni menggoreng wader. ”Dengan modal Rp 60.000 saya ajak istri untuk membeli wader lalu digoreng. Setelah dijual ternyata responsnya positif. Saya lalu menambah jumlah wader dengan mencari pinjaman sana sini,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Sampai tahun 2006, usaha wader goreng Supriyadi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Gempa bumi yang melanda Yogyakarta sempat membuat usahanya terhenti selama enam bulan.
Saat itu, Supriyadi seolah kehilangan semangat untuk bangkit. Rumahnya rata dengan tanah. Namun, berkat dorongan keluarga, Supriyadi pun memulai kembali usaha wader goreng.
Tahun 2007, bapak tiga anak itu mendapatkan bantuan modal Rp 40 juta dari pemerintah. Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli peralatan menggoreng, alat mengemas, dan peralatan pendukung lainnya. Semua peralatan tersebut dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.
Kini wader goreng Supriyadi telah populer sebagai salah satu oleh-oleh khas Yogyakarta. Wader goreng yang krenyes-krenyes, menjadi daya tarik utama bagi konsumen.
Rahasia krenyes-krenyes wader goreng produksi Supriyadi itu terletak pada cara menggorengnya, yaitu melalui dua tahap penggorengan.
Pertama, wader digoreng dengan tepung kering. Bila pesanan tidak terlalu banyak, wader gorengan pertama ini bisa disimpan hingga satu minggu.
Namun, untuk mendapatkan wader goreng siap konsumsi, wader gorengan pertama di campur dengan tepung basah lalu digoreng kembali. Hasil dari penggorengan tahap kedua ini bisa tahan sampai tiga bulan.
Supriyadi juga peduli pada kemasan. Selain mengemas dalam plastik, ia juga menawarkan wader goreng kemasan stoples seharga Rp 20.000. Adapun kemasan plastik harganya Rp 15.000 per 200 gram.
”Kemasan penting untuk menarik konsumen. Kalau dibuat menarik, mereka bisa memanfaatkannya untuk oleh-oleh,” ujar Supriyadi.
Kepercayaan konsumen pun dia bangun dengan memberi jaminan kelayakan produk. Supriyadi melengkapi usahanya dengan sertifikat pangan industri rumah tangga (PIRT). Usaha milik Supriyadi ini menjadi satu-satunya usaha skala rumah tangga sektor perikanan di Bantul yang mengantongi PIRT.
Selama ini, lanjutnya, pengusaha makanan kurang peduli pada PIRT. Padahal, untuk bisa menembus ritel modern, PIRT biasanya jadi syarat utama.
Usaha wader goreng Supriyadi kini bukan hanya memberi penghasilan kepada 12 pekerjanya, tapi juga pembudidaya ikan dari berbagai daerah yang selama ini menjadi pemasok wader segar.
Supriyadi mendapat pasokan wader segar dari Wonogiri, Purwodadi, dan Pati, Jawa Tengah, serta Bantul, DI Yogyakarta.
Supriyadi tak berhenti hanya puas menjadi pengusaha wader goreng. Ia masih memiliki obsesi untuk membangun kampungnya menjadi daerah tujuan wisata kuliner.
”Selama ini wader goreng hanya kami titipkan sehingga manfaat untuk masyarakat sekitar tidak optimal. Jika Dusun Santan bisa jadi ikon wader goreng dan mendatangkan banyak pengunjung, masyarakat pasti akan ikut menikmati,” ujarnya.
Supriyadi sudah membuat rancangan pengembangan rumah makan di kampungnya. Dalam desain tersebut, ia mencantumkan pembuatan arena bermain anak dan taman. Dua sarana ini dinilai penting agar pengunjung mendapatkan nilai lebih. ”Mereka tidak hanya makan, tetapi juga bisa bermain dengan keluarganya,” tutur dia.
Diversifikasi produk pun dilakukan, dengan membuat ini menjadi strategi agar konsumen tidak jenuh. ”Saya juga sedang berpikir membuat kerupuk dari limbah wader dan udang. Selama ini limbahnya dibuang, padahal masih bisa dimanfaatkan,” kata Supriyadi.
Begitu juga dengan yang satu ini. Jika Anda berkunjung ke Blitar, Jawa Timur, jangan lewatkan kesempatan bersantap menu ndeso ala Mak Ti. Warung kampung ini sudah tersohor dengan sajian masakan khas desa, racikan tangan Supiyati, pemilik warung Mak Ti.
Bagi Mak Ti, yang namanya rezeki memang tak akan lari ke mana-mana. Lihatlah, hasil usaha yang kini dia gendong. Meski berlokasi di “pedalaman” Blitar, Jawa Timur, nyatanya warung penjaja masakan pengusung sajian khas desa ini senantiasa ramai kedatangan pelanggan.
Mak Ti mengawali usaha warung makannya sejak tahun 2000 silam. Boleh dibilang, Warung Mak Ti mengubah pakem soal lokasi bisnis. Maklum, letaknya di pelosok Blitar. Tepatnya di Dusun Ngelaos, Gododeso, Kecamatan Kanigoro, Blitar, sekitar sekitar 10 kilometer arah selatan Kota Blitar.
Bangunan warung makan ini tergolong ala kadarnya. Bahkan, lantainya masih berupa tanah alias belum terjamah semen. Dinding warung juga masih berupa bilik anyaman bambu reyot. Meski sederhana, satu hal yang patut mendapat acungan jempol soal warung ini: kebersihan selalu terjaga.
Nyatanya, ketenaran Warung Mak Ti sampai ke mana-mana. Pembelinya berasal dari beragam status sosial. Mulai dari kelas yang bersepeda onthel alias rakyat jelata, hingga pejabat tinggi.
Salah satu pejabat yang pernah menyambangi warung Mak Ti adalah Boediono, Wakil Presiden RI saat ini. Maklum saja, Pak Boed memang lahir dan besar di Blitar. “Pak Boediono terakhir ke warung saya saat kampanye pemilihan presiden, April lalu,” beber Mak Ti, awal November lalu.
Menu ikan kali
Lantas, apa yang membuat warung nasi Mak Ti begitu tenar dan banyak dikunjungi orang? Mak Ti pun tak segan berbagi rahasia. “Saya menyajikan masakan khas desa,” kata perempuan paruh baya ini.
Semua jenis masakan desa lengkap ada di sini. Sebut saja sayur lodeh, pepes teri, pecak terong, dan aneka macam lauk pauk. Kebanyakan, sajian lauk olahan Mak Ti berupa olahan ikan sungai, seperti ikan gabus, lele, nila, dan wader. “Semua jenis ikan jendhil (ikan kali) saya sajikan,” kata Mak Ti.
Sebagai variasi tambahan, ada pula olahan bandeng, serta menu daging ayam. Tentu saja, sambal pedas penyengat lidah, plus nasi putih, menjadi pelengkap hidangan. Oh, iya, bagi yang suka masakan bersantan, di Warung Mak Ti juga ada.
Mau tahu rasanya? Cobalah mencomot wader goreng. Cocol dengan sambal pedas plus sejumput nasi. Masukkan ke dalam mulut dan rasakan efeknya. Boleh dibilang, gurih daging wader berpadu dengan panasnya sengatan sambal, menendang lidah. Mak nyos.., keringat bisa mengocor di atas jidat.
Soal harga, dijamin tak akan membuat jidat Anda mengerut. Dengan duit Rp 5.000, Anda sudah bisa makan sepuasnya. Silakan tambah nasi sesuka hati. Tambah nasi di sini gratis. “Kecuali nambah lauk, nanti baru dihitung,” kata Mak Ti.
Pendek kata, kepenatan dan keputusasaan mencari lokasi Warung Mak Ti terbayar lunas setelah menyantap aneka hidangan di sini.
Para pengunjung pun tak perlu berlama-lama menunggu pesanan datang. Maklum, Warung Mak Ti menyajikan ala prasmanan atawa self service.
Semua masakan diletakkan di atas meja besar di bagian belakang warung. Nasi berada dalam bakul bambu besar, sehingga pembeli gampang mengambilnya sesuka hati. Sementara, lauk-pauk bertumpuk dalam baskom besar.
Mak Ti berkata, resep rahasia olahannya terletak pada racikan bumbunya. Mak Ti mencampurkan bawang merah, bawang putih, cabai merah, laos, dengan tempe bosok, diulek hingga lumat. “Pada setiap masakan, saya lebih menonjolkan rasa laos, sehingga bisa lebih gurih,” terang Mak Ti.
Ibu tiga anak ini sengaja memisahkan tempat menaruh makanan, area bersantap, dan lokasi memasak. Tempat masakan matang terdapat di bagian belakang warung seluas kira-kira 6 meter x 5 meter. Ruang santap di bagian tengah seluas kira-kira 10 meter x 10 meter. Dapur berada di samping kiri warung seluas sekitar 20 meter x 10 meter.
Di dapur inilah, Mak Ti bersama beberapa pembantunya mengolah berbagai kudapan. Oh, ya, untuk mengelola warung ini, Mak Ti dibantu 15 pekerja. Sebagian sebagai juru masak, sebagian lain berperan sebagai pramusaji.
Mereka harus bekerja ekstrakeras lantaran pengunjung selalu ramai, terutama di pagi hari, jam makan siang, dan saat sore hari selepas jam kantor. Dalam sehari, pengunjung warung Mak Ti bisa ratusan orang.
Bahkan, akhir pekan, pengunjung bisa membeludak lebih dari 1.000. “Saya membagi pekerja dua shift, 10 orang dari jam 06.00–16.00, sedang lima orang pukul 16.00 sampai 23.00,” kata Mak Ti. Aktivitas kerja itu sekaligus menunjukkan jam buka warung Mak Ti.
Dalam sehari, Mak Ti mampu menghabiskan satu kuintal beras, dan lima kuintal ikan kali. “Ikan-ikan itu saya beli langsung dari pedagang di Karangkates setiap hari,” kata Mak Ti. Karangkates adalah nama sebuah bendungan di selatan Kabupaten Malang.
Saban hari, rata-rata Mak Ti mampu mendulang omzet hingga Rp 7 juta, atau sekitar Rp 210 juta per bulan. “Pada saat akhir pekan, omzet saya naik menjadi Rp 10 juta, bahkan bisa lebih,” ungkap Mak Ti.
Dari omzet sebanyak tadi, Mak Ti mengaku mengambil laba maksimal 20%. “Untungnya memang tidak terlalu banyak, karena saya lebih senang memberi kepada orang lain ketimbang berpikiran bisnis,” ucap Mak Ti. Toh, untuk ukuran di kampung, tetap saja perolehan keuntungan Mak Ti tergolong luar biasa.
Yang jelas, dari usaha yang dirintis sejak awal tahun 2000 lalu, kini Mak Ti hidup makmur. Bahkan, dia mampu membangunkan tiga rumah bagi ketiga anaknya.
Kendati kedainya sudah kondang ke mana-mana, Mak Ti belum berniat memperbaiki warungnya sudah nampak reyot dimakan usia. Ya, bisa jadi, dia menganggap warung sederhana ini justru membawa rezeki.
Setelah sukses di Blitar, apakah Mak Ti berniat membuka cabang? Soal ini, Mak Ti menjawab tegas, “Saya tidak akan membuka cabang di tempat lain,” ujarnya. Bahkan, dia pun tidak berencana membuka warung serupa untuk anak-anaknya. “Anak saya tidak akan bisa melanjutkan usaha seperti saya,” kilah Mak Ti.
Wader goreng produksi Supriyadi telah beredar di 79 toko oleh-oleh dan rumah makan di kawasan Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kini, rata-rata dalam satu hari Supriyadi menggoreng 200 kilogram wader dan selalu habis terjual. Tak ada yang menyangka usaha yang dirintis Supriyadi dengan modal awal Rp 60.000 ini berkembang pesat.
Supriyadi memulai usaha wader goreng pada tahun 2000. Sebelumnya, ia bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia tahun 1998 membuat Supriyadi kehilangan pekerjaannya karena terkena pemutusan hubungan kerja.
Supriyadi pun memutuskan kembali ke kampung halamannya di Bantul, DI Yogyakarta, dan meninggalkan Jakarta.
Di kampungnya, Supriyadi tertarik dengan usaha yang digeluti mertuanya, yakni menggoreng wader. ”Dengan modal Rp 60.000 saya ajak istri untuk membeli wader lalu digoreng. Setelah dijual ternyata responsnya positif. Saya lalu menambah jumlah wader dengan mencari pinjaman sana sini,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Sampai tahun 2006, usaha wader goreng Supriyadi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Gempa bumi yang melanda Yogyakarta sempat membuat usahanya terhenti selama enam bulan.
Saat itu, Supriyadi seolah kehilangan semangat untuk bangkit. Rumahnya rata dengan tanah. Namun, berkat dorongan keluarga, Supriyadi pun memulai kembali usaha wader goreng.
Tahun 2007, bapak tiga anak itu mendapatkan bantuan modal Rp 40 juta dari pemerintah. Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli peralatan menggoreng, alat mengemas, dan peralatan pendukung lainnya. Semua peralatan tersebut dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.
Kini wader goreng Supriyadi telah populer sebagai salah satu oleh-oleh khas Yogyakarta. Wader goreng yang krenyes-krenyes, menjadi daya tarik utama bagi konsumen.
Rahasia krenyes-krenyes wader goreng produksi Supriyadi itu terletak pada cara menggorengnya, yaitu melalui dua tahap penggorengan.
Pertama, wader digoreng dengan tepung kering. Bila pesanan tidak terlalu banyak, wader gorengan pertama ini bisa disimpan hingga satu minggu.
Namun, untuk mendapatkan wader goreng siap konsumsi, wader gorengan pertama di campur dengan tepung basah lalu digoreng kembali. Hasil dari penggorengan tahap kedua ini bisa tahan sampai tiga bulan.
Supriyadi juga peduli pada kemasan. Selain mengemas dalam plastik, ia juga menawarkan wader goreng kemasan stoples seharga Rp 20.000. Adapun kemasan plastik harganya Rp 15.000 per 200 gram.
”Kemasan penting untuk menarik konsumen. Kalau dibuat menarik, mereka bisa memanfaatkannya untuk oleh-oleh,” ujar Supriyadi.
Kepercayaan konsumen pun dia bangun dengan memberi jaminan kelayakan produk. Supriyadi melengkapi usahanya dengan sertifikat pangan industri rumah tangga (PIRT). Usaha milik Supriyadi ini menjadi satu-satunya usaha skala rumah tangga sektor perikanan di Bantul yang mengantongi PIRT.
Selama ini, lanjutnya, pengusaha makanan kurang peduli pada PIRT. Padahal, untuk bisa menembus ritel modern, PIRT biasanya jadi syarat utama.
Usaha wader goreng Supriyadi kini bukan hanya memberi penghasilan kepada 12 pekerjanya, tapi juga pembudidaya ikan dari berbagai daerah yang selama ini menjadi pemasok wader segar.
Supriyadi mendapat pasokan wader segar dari Wonogiri, Purwodadi, dan Pati, Jawa Tengah, serta Bantul, DI Yogyakarta.
Supriyadi tak berhenti hanya puas menjadi pengusaha wader goreng. Ia masih memiliki obsesi untuk membangun kampungnya menjadi daerah tujuan wisata kuliner.
”Selama ini wader goreng hanya kami titipkan sehingga manfaat untuk masyarakat sekitar tidak optimal. Jika Dusun Santan bisa jadi ikon wader goreng dan mendatangkan banyak pengunjung, masyarakat pasti akan ikut menikmati,” ujarnya.
Supriyadi sudah membuat rancangan pengembangan rumah makan di kampungnya. Dalam desain tersebut, ia mencantumkan pembuatan arena bermain anak dan taman. Dua sarana ini dinilai penting agar pengunjung mendapatkan nilai lebih. ”Mereka tidak hanya makan, tetapi juga bisa bermain dengan keluarganya,” tutur dia.
Diversifikasi produk pun dilakukan, dengan membuat ini menjadi strategi agar konsumen tidak jenuh. ”Saya juga sedang berpikir membuat kerupuk dari limbah wader dan udang. Selama ini limbahnya dibuang, padahal masih bisa dimanfaatkan,” kata Supriyadi.
Begitu juga dengan yang satu ini. Jika Anda berkunjung ke Blitar, Jawa Timur, jangan lewatkan kesempatan bersantap menu ndeso ala Mak Ti. Warung kampung ini sudah tersohor dengan sajian masakan khas desa, racikan tangan Supiyati, pemilik warung Mak Ti.
Bagi Mak Ti, yang namanya rezeki memang tak akan lari ke mana-mana. Lihatlah, hasil usaha yang kini dia gendong. Meski berlokasi di “pedalaman” Blitar, Jawa Timur, nyatanya warung penjaja masakan pengusung sajian khas desa ini senantiasa ramai kedatangan pelanggan.
Mak Ti mengawali usaha warung makannya sejak tahun 2000 silam. Boleh dibilang, Warung Mak Ti mengubah pakem soal lokasi bisnis. Maklum, letaknya di pelosok Blitar. Tepatnya di Dusun Ngelaos, Gododeso, Kecamatan Kanigoro, Blitar, sekitar sekitar 10 kilometer arah selatan Kota Blitar.
Bangunan warung makan ini tergolong ala kadarnya. Bahkan, lantainya masih berupa tanah alias belum terjamah semen. Dinding warung juga masih berupa bilik anyaman bambu reyot. Meski sederhana, satu hal yang patut mendapat acungan jempol soal warung ini: kebersihan selalu terjaga.
Nyatanya, ketenaran Warung Mak Ti sampai ke mana-mana. Pembelinya berasal dari beragam status sosial. Mulai dari kelas yang bersepeda onthel alias rakyat jelata, hingga pejabat tinggi.
Salah satu pejabat yang pernah menyambangi warung Mak Ti adalah Boediono, Wakil Presiden RI saat ini. Maklum saja, Pak Boed memang lahir dan besar di Blitar. “Pak Boediono terakhir ke warung saya saat kampanye pemilihan presiden, April lalu,” beber Mak Ti, awal November lalu.
Menu ikan kali
Lantas, apa yang membuat warung nasi Mak Ti begitu tenar dan banyak dikunjungi orang? Mak Ti pun tak segan berbagi rahasia. “Saya menyajikan masakan khas desa,” kata perempuan paruh baya ini.
Semua jenis masakan desa lengkap ada di sini. Sebut saja sayur lodeh, pepes teri, pecak terong, dan aneka macam lauk pauk. Kebanyakan, sajian lauk olahan Mak Ti berupa olahan ikan sungai, seperti ikan gabus, lele, nila, dan wader. “Semua jenis ikan jendhil (ikan kali) saya sajikan,” kata Mak Ti.
Sebagai variasi tambahan, ada pula olahan bandeng, serta menu daging ayam. Tentu saja, sambal pedas penyengat lidah, plus nasi putih, menjadi pelengkap hidangan. Oh, iya, bagi yang suka masakan bersantan, di Warung Mak Ti juga ada.
Mau tahu rasanya? Cobalah mencomot wader goreng. Cocol dengan sambal pedas plus sejumput nasi. Masukkan ke dalam mulut dan rasakan efeknya. Boleh dibilang, gurih daging wader berpadu dengan panasnya sengatan sambal, menendang lidah. Mak nyos.., keringat bisa mengocor di atas jidat.
Soal harga, dijamin tak akan membuat jidat Anda mengerut. Dengan duit Rp 5.000, Anda sudah bisa makan sepuasnya. Silakan tambah nasi sesuka hati. Tambah nasi di sini gratis. “Kecuali nambah lauk, nanti baru dihitung,” kata Mak Ti.
Pendek kata, kepenatan dan keputusasaan mencari lokasi Warung Mak Ti terbayar lunas setelah menyantap aneka hidangan di sini.
Para pengunjung pun tak perlu berlama-lama menunggu pesanan datang. Maklum, Warung Mak Ti menyajikan ala prasmanan atawa self service.
Semua masakan diletakkan di atas meja besar di bagian belakang warung. Nasi berada dalam bakul bambu besar, sehingga pembeli gampang mengambilnya sesuka hati. Sementara, lauk-pauk bertumpuk dalam baskom besar.
Mak Ti berkata, resep rahasia olahannya terletak pada racikan bumbunya. Mak Ti mencampurkan bawang merah, bawang putih, cabai merah, laos, dengan tempe bosok, diulek hingga lumat. “Pada setiap masakan, saya lebih menonjolkan rasa laos, sehingga bisa lebih gurih,” terang Mak Ti.
Ibu tiga anak ini sengaja memisahkan tempat menaruh makanan, area bersantap, dan lokasi memasak. Tempat masakan matang terdapat di bagian belakang warung seluas kira-kira 6 meter x 5 meter. Ruang santap di bagian tengah seluas kira-kira 10 meter x 10 meter. Dapur berada di samping kiri warung seluas sekitar 20 meter x 10 meter.
Di dapur inilah, Mak Ti bersama beberapa pembantunya mengolah berbagai kudapan. Oh, ya, untuk mengelola warung ini, Mak Ti dibantu 15 pekerja. Sebagian sebagai juru masak, sebagian lain berperan sebagai pramusaji.
Mereka harus bekerja ekstrakeras lantaran pengunjung selalu ramai, terutama di pagi hari, jam makan siang, dan saat sore hari selepas jam kantor. Dalam sehari, pengunjung warung Mak Ti bisa ratusan orang.
Bahkan, akhir pekan, pengunjung bisa membeludak lebih dari 1.000. “Saya membagi pekerja dua shift, 10 orang dari jam 06.00–16.00, sedang lima orang pukul 16.00 sampai 23.00,” kata Mak Ti. Aktivitas kerja itu sekaligus menunjukkan jam buka warung Mak Ti.
Dalam sehari, Mak Ti mampu menghabiskan satu kuintal beras, dan lima kuintal ikan kali. “Ikan-ikan itu saya beli langsung dari pedagang di Karangkates setiap hari,” kata Mak Ti. Karangkates adalah nama sebuah bendungan di selatan Kabupaten Malang.
Saban hari, rata-rata Mak Ti mampu mendulang omzet hingga Rp 7 juta, atau sekitar Rp 210 juta per bulan. “Pada saat akhir pekan, omzet saya naik menjadi Rp 10 juta, bahkan bisa lebih,” ungkap Mak Ti.
Dari omzet sebanyak tadi, Mak Ti mengaku mengambil laba maksimal 20%. “Untungnya memang tidak terlalu banyak, karena saya lebih senang memberi kepada orang lain ketimbang berpikiran bisnis,” ucap Mak Ti. Toh, untuk ukuran di kampung, tetap saja perolehan keuntungan Mak Ti tergolong luar biasa.
Yang jelas, dari usaha yang dirintis sejak awal tahun 2000 lalu, kini Mak Ti hidup makmur. Bahkan, dia mampu membangunkan tiga rumah bagi ketiga anaknya.
Kendati kedainya sudah kondang ke mana-mana, Mak Ti belum berniat memperbaiki warungnya sudah nampak reyot dimakan usia. Ya, bisa jadi, dia menganggap warung sederhana ini justru membawa rezeki.
Setelah sukses di Blitar, apakah Mak Ti berniat membuka cabang? Soal ini, Mak Ti menjawab tegas, “Saya tidak akan membuka cabang di tempat lain,” ujarnya. Bahkan, dia pun tidak berencana membuka warung serupa untuk anak-anaknya. “Anak saya tidak akan bisa melanjutkan usaha seperti saya,” kilah Mak Ti.