Menyantap nasi tanpa sambal terasa kurang lengkap dan kurang nikmat. Pedasnya sambal tidak pernah membuat penikmatnya kapok untuk menikmati yang kedua kali.
Hanya saja, tidak semua sambal cocok dengan lidah penikmatnya. Bahkan, sambal yang racikannya tidak sesuai malah membuat perut mulas sampai diare. Namun, di tangan Aisyah Rusdan (48), warga Jl Nusa Indah, Kota Malang, racikan sambal bisa dinikmati penggila sambal dari segala usia. Ada pula sambal yang bisa dinikmati anak masih balita karena saya tidak menggunakan cabai rawit. Saya meraciknya dengan cabai besar, sehingga tidak terlalu pedas, kata Aisyah Rusdan ketika ditemui Surya, belum lama ini.
Bisnis sambal kemasan ini bermula dari usaha katering yang sudah dia lakoni sejak 2005. Dalam pengamatannya, selama melakoni bisnis katering, sambal ternyata cukup laris. Karena itu, dia berinisiatif mengembangkan bisnisnya dalam bentuk sambal kemasan. Inisiatif ini mulai diwujudkan saat dia ikut pameran masakan di Kota Malang, beberapa waktu lalu.
Dalam pameran yang digelar selama tiga hari itu, Bu Rusdan belum berani membuat sambal kemasan dalam jumlah banyak. Sebagai uji coba produk barunya, dia hanya membuat 120 botol sambal. Sambal yang saya bawa ini habis dalam tiga hari itu. Dari sini saya yakin produk saya disenangi masyarakat, ujarnya seperti dilansir Harian Surya.
Sejak saat itulah konsumen berdatangan di rumahnya yang juga berfungsi sebagai tempat produksi sambal di Jl Nusa Indah. Bu Rusdan menjual sambalnya Rp 10.000 per botol. Tetapi, di pasaran harganya bisa mencapai Rp 12.500 sampai Rp 13.500 per botol. Meski baru dilakoni empat bulan, Bu Rusdan bisa merasakan nikmatnya bisnis sambal dan bumbu kemasan. Setiap hari dia mampu menjual lima kardus sambal dan bumbu kemasan yang setiap kemasan berisi 30 botol. Di antara yang saya produksi sambal bawang, sambal trasi, sambal kanton, bumbu rujak manis, petis bumbu siap makan, bumbu soto Solo, bumbu soto Lamongan, bumbu opor, dan bumbu mie goreng, terang Bu Rusdan.
Dengan asumsi Bu Rusdan mampu menjual lima kardus sambal dan bumbu per hari, berarti omzetnya mencapai Rp 1,5 juta per hari. Untuk meringankan pekerjaannya memenuhi permintaan konsumen, Bu Rusdan juga melibatkan warga sekitar rumah. Mereka bekerja sebagai pembersih cabai, bawang merah, dan bawang putih. Upahnya tergantung kemampuan mereka membersihkan bahan mentah sambal dan bumbu kemasannya itu. Bu Rusdan memberi honor sebesar Rp 1.000 per kg cabai dan bawang putih, serta Rp 1.500 per kg untuk bawang merah. Mereka rata-rata mampu membersihkan sampai 70 kg bahan mentah, urainya.
Ibu Rusdan menyadari bumbu racikannya sudah bernilai komersial. Makanya, dia merahasiakan resep sambal dan bumbu kemasannya pada publik. Sembilan pegawai yang membantunya juga dipastikan tidak mengetahui resep rahasianya. Untuk menjaga rahasia resepnya, dia membagi tugas pada pegawai. Sebagian ada yang bertugas memilah dan menggoreng saja, sebagian ditugaskan menggerus, dan sebagian lagi mengerjakan pekerjaan lain. Bahkan, saat pergi keluar kota dalam jangka waktu lama, dia memilih tidak memproduksi sambal atau bumbu kemasan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, stok barang diperbanyak sehingga konsumen yang datang ke rumahnya tidak kecewa. Paling lama saya hanya pergi selama tiga hari, ungkap Bu Rusdan.
Ibu tiga anak ini mengaku tidak menutup kemungkinan resep rahasianya sudah bocor. Tetapi dia tidak khawatir produknya bakal dibajak oknum tak bertanggungjawab atau mantan pegawainya. Dia yakin pembajakan itu tidak akan memengaruhi bisnisnya. Saya yakin bahwa rejeki itu sudah ada yang mengatur. Kalau mau membajak, silakan, asal persaingan di pasar dilakukan dengan sehat, urai Bu Rusdan.