Mengolah Limbah Jambu Mete Jadi Produk Ekonomis Tinggi

Jambu mete merupakan salah satu tanaman industri yang potensial dengan produk utama berupa biji (kacang) mete. Jambu mete umumnya dikembangkan di daerah dataran rendah yang beriklim kering, bahkan di kawasan lahan kritis untuk penghijauan atau konservasi lahan.

Pengolahan mete, di samping menghasilkan biji, juga limbah berupa buah semu dan kulit atau cangkang biji. Buah semu biasanya hanya dibuang sebagai limbah. Salah satu peluang pemanfaatan buah semu adalah sebagai pakan. Pakan kombinasi dari leguminosa dan buah semu mete sangat baik untuk ternak.

Buah semu mengandung gizi yang rendah, yaitu air 82,5%, protein 0,7%, dan energi 720 kal/g. Komposisi fisik pada bagian padat buah semu 34-36%, dengan kandungan protein kasar 6,10% dan serat kasar 15,15%. Di samping zat gizinya rendah, buah semu juga mengandung asam anakardat yang dapat menyebabkan gangguan tenggorokan dan batuk bila digunakan sebagai pakan ternak.

Salah satu upaya meningkatkan nilai gizi buah semu adalah melalui proses fermentasi. Melalui proses tersebut, kadar protein dan kalori dapat meningkat serta kadar serat kasar menurun. Fermentasi juga dapat menekan kandungan tanin sehingga bahan dapat diberikan pada level yang lebih tinggi pada ransum ternak.
Buah semu dapat pula dikeringkan lalu dibuat tepung sehingga lebih tahan lama (hingga 6 bulan). Dengan cara demikian, pakan dari buah semu dapat tersedia sepanjang tahun di luar musim panen. Di samping itu, penepungan akan memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan pencampurannya pada saat diberikan kepada ternak.

Proses Pengolahan

Fermentasi limbah mete dapat berlangsung secara efektif dengan bantuan mikroba tertentu sebagai inokulan. Dari berbagai jenis inokulan yang dicoba, yang memberikan hasil terbaik adalah Aspergillus niger.

Aspergillus niger merupakan sejenis jamur yang bersifat fakultatif, dapat berkembang dalam kondisi aerob maupun anaerob. Oleh karena itu, penggunaan mikroba ini untuk fermentasi akan lebih praktis, karena proses fermentasi tidak mesti tertutup rapat. Namun, petani atau masyarakat yang berminat melakukan fermentasi limbah harus hati-hati, karena ada jenis Aspergillus lain yakni Aspergillus flavus yang dapat menyebabkan aflatoksin pada unggas. Namun, membedakan keduanya sangatlah mudah, A. niger koloninya berwarna hitam, sedangkan A. flavus berwarna kuning.

Agar proses fermentasi efisien, bibit Aspergillus atau Rhizophus diaktifkan dan diperbanyak. Pada umumnya bibit A. niger yang diproduksi di laboratorium berbentuk padat, namun Aspergillus yang diproduksi BPTP Bali berbentuk cair. Ini dimaksudkan agar inokulan tersebut harganya murah sehingga terjangkau petani.

Melalui proses perbanyakan, setiap 1 liter bibit Aspergillus dapat menjadi 200 liter. Aktivasi dan perbanyakan Aspergillus memerlukan peralatan seperti bak plastik yang bersih dan aerator, sedangkan bahan yang digunakan adalah gula pasir, urea, dan NPK, masing-masing 1% dari berat air. Bahan nutrisi tersebut dapat diganti dengan campuran gula dan ekstrak tauge (kecambah kacang hijau) masingmasing 2,5% dari berat air.

Air yang digunakan harus steril dan bebas kaporit (bukan air PAM). Bila menggunakan air sungai atau air yang kotor, harus dimasak lebih dahulu hingga mendidih untuk membunuh mikroba yang ada. Air yang telah masak dibiarkan hingga dingin, lalu ditambahkan gula, urea, dan NPK atau gula dan ekstrak tauge kemudian diaduk hingga larut. Selanjutnya bibit Aspergillus dimasukkan sebanyak 0,5% dari volume air.

Ujung selang aerator kemudian dimasukkan ke dalam air dan diberi pemberat agar tidak mengapung, lalu aerator dihidupkan sehingga timbul gelembung-gelembung oksigen dalam air dan air pun tertekan udara sehingga berputar. Proses aerasi dilakukan sekitar 30-48 jam hingga larutan siap digunakan. Bila di lokasi tidak tersedia listrik dan aerator, larutan dibiarkan selama 72 jam, baru digunakan. Selama proses aktivasi, bahan-bahan tersebut diletakkan di tempat yang teduh dan ditutup agar tidak terkontaminasi mikroba.

Fermentasi

Fermentasi dilakukan pada wadah atau di atas para-para yang beralas anyaman bambu. Fermentasi dilakukan di tempat teduh agar bahan tidak terkena hujan atau sinar matahari. Limbah mete mengandung air 60% sehingga sebelum difermentasi perlu dipres atau diperas, secara manual atau dengan alat, lalu dicacah. Dapat pula bahan dicacah dulu baru dipres.

Limbah yang akan difermentasi ditempatkan dalam bak atau wadah lain. Bahan ditebarkan setebal 5-10 cm, kemudian disiram larutan A. niger secara merata. Selanjutnya di atasnya ditambah limbah lagi, kemudian disiram lagi dengan larutan hingga seluruh bahan terbasahi. Limbah kemudian ditutup dengan goni, plastik atau kain agar tetap lembap dan terlindung dari mikroba. Fermentasi dilakukan 4-6 hari. Bila fermentasi terlalu cepat, proses dekomposisi kurang sempurna.

Pengeringan dan Penggilingan

Setelah 5 hari, tutup fermentasi dibuka lalu limbah dikeringkan dengan dijemur. Bila matahari bersinar cerah, dalam 2-3 hari bahan akan kering. Setelah kering, limbah digiling hingga menjadi tepung. Penggilingan dapat menggunakan penepung gaplek, beras atau kopi. Untuk alat berkapasitas 100 kg/jam, diperlukan mesin penggerak berkekuatan 8 HP.

Tepung limbah dapat langsung diberikan kepada ternak atau disimpan. Tepung disimpan dalam kantong plastik atau goni yang kering lalu ujungnya diikat dan ditempatkan di tempat yang kering dan teduh. Dengan proses pengolahan tersebut, limbah dapat disimpan hingga 6 bulan.


Kandungan Gizi dan Pemanfaatannya

Buah semu jambu mete yang difermentasi memiliki kandungan gizi, terutama protein, jauh lebih tinggi dibanding bahan asalnya, yaitu protein meningkat dari 7% menjadi 21- 22%. Sementara itu kandungan serat kasarnya menurun dari 14,48% menjadi 8,56%.

Limbah mete fermentasi dapat diberikan kepada ternak ruminansia (kambing, sapi, kerbau) sebagai pakan penguat. Hijauan tetap diberikan, sedangkan pakan penguat sebagai pakan tambahan untuk menghasilkan pertumbuhan atau meningkatkan produksi susu. Pada kambing atau sapi, jumlah penggunaannya berkisar antara 0,7-1,2% dari bobot hidup ternak. Kambing dengan bobot badan 30 kg dapat diberi pakan limbah mete fermentasi sekitar 200-350 g/ekor/hari.

Pada sapi dengan berat badan 300 kg, limbah dapat diberikan 2,0-3,5 kg/ekor/hari. Pada ayam atau itik, tepung limbah mete dapat dicampurkan ke dalam ransum.

Hasil Penelitian

Hasil pengkajian BPTP Bali menunjukkan, pemberian limbah mete fermentasi pada kambing dapat meningkatkan bobot badan secara nyata. Penimbangan pertama pada 24 ekor kambing memperoleh bobot awal rata-rata untuk P1: 15,67 kg/ekor dan P2: 15,55 kg/ ekor. Setelah diberi pakan limbah 12 minggu (84 hari), bobot badan rata-rata menjadi 18,49 kg untuk P1 dan 20,56 kg untuk P2. Dengan demikian pada P1 diperoleh pertambahan bobot badan rata-rata 33,58 g dan P2 59,65 g/ekor/hari.

Hasil analisis ekonomi menunjukkan, pemberian limbah mete fermentasi dapat meningkatkan keuntungan sebesar Rp31.950 per 12 minggu atau Rp10.650 per bulan untuk setiap ekor anak kambing dibandingkan dengan pola pemeliharaan tradisional. Analisis tersebut sudah memperhitungkan biaya bahan baku dan pengolahan.

Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Kolaka siap membantu pengembangan pestisida limbah jambu mete, hasil temuan Maryadi, Dosen Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Bupati Kolaka, H Buhari Matta, menginstruksikan pada Dinas Perkebunan Kolaka untuk membangun kerja sama dalam rangka mengembangkan dan menggunakan teknologi pertanian yang dapat membantu masyarakat petani. Instruksi Bupati tersebut disampaikan di sela-sela bedah Kecamatah Lalolae.

Maryadi, penemu pestisida ramah lingkungan ini mengatakan, pestisida temuannya ini sudah banyak digunakan petani di Sulawesi Tenggara. Menurutnya, pestisida yang diberi nama phymar C 711 ini bahan baku utamanya terbuat dari limbah kulit jambu mete yang terbuang. "Limbah kulit jambu mete ini baunya sangat menyengat dan membuat banyak orang sesak," katanya.

Penemuan pestisida bebas dari bahan kimia ini dimulai dari penelitian selama 15 tahun. "Kegunaan pestisida ini untuk membasmi penyakit busuk buah kakao dan penyakit kanker batang kakao, harga per botol Rp 60.000," katanya.

Menurut Maryadi, pestisida temuan ini sementara dalam proses pendaftaran merk dan hak paten di Dirjen HAKI. "Untuk sementara pasarnya baru Sulawesi Tenggara," katanya.