Gempa dan tsunami di Aceh, Desember 2004, tak hanya membuat banyak orang kehilangan jiwa dan harta benda. Banyak korban yang juga kehilangan semangat untuk meneruskan kehidupan. Nelly, salah satu di antaranya. Tsunami membuat usahanya, pabrik Nusa Roti, musnah.
Semangat untuk memulai kembali kehidupan dari nol didapat Nelly Nurila dari orang-orang tercinta. Semua itu membuatnya mampu bangkit kembali dari keterpurukan.
”Berbekal berbagai dokumen yang menyatakan usaha saya sehat, tetap saja saya tidak mendapat bantuan modal dari bank. Saya tidak akan pergi ke sana (bank) lagi,” kata Nelly (33), penggerak pabrik roti Nusa Indah di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa waktu lalu.
Dia lalu berkisah, tsunami membuat loyang usaha keluarganya tersebar di mana-mana. ”Mixer yang dulu kami pakai ditemukan sekitar 500 meter dari rumah, di kaki bukit,” katanya.
Keluarga besarnya terpaksa mengungsi di penampungan yang dibangun lembaga donor internasional di sekitar tempat tinggal mereka. Sampai sekitar tiga bulan setelah tsunami, Nelly tak banyak bergerak dari barak pengungsi. Ayah dan adiknya bahkan harus menjalani perawatan di Pulau Jawa.
”Dia (ayahnya) stres, beberapa penyakit kambuh selama sesudah tsunami,” katanya.
Keluarganya bisa dikatakan tak punya uang pascabencana itu. Selama beberapa bulan, untuk biaya hidup, sebuah lembaga swadaya internasional memberikan uang gaji sebesar Rp 35.000 per hari bagi warga yang membantu membersihkan puing-puing rumah dan barang lain.
Selama itu pula, dia bersama suaminya, Mukhlis Ismail, serta dua anaknya pergi-pulang antara rumah dan barak pengungsian untuk membersihkan puing di sekitar rumah mereka.
”Uang itu (gaji mereka membersihkan puing) nantinya menjadi modal usaha,” katanya.
Meski awalnya dia sempat enggan membangun kembali usaha roti milik keluarga, dorongan dari suami dan keluarga membuatnya berubah pikiran. ”Suami saya tak henti-henti mengingatkan untuk mulai berusaha lagi,” katanya.
Dibantu Mukhlis, Nelly lalu memulai usaha dengan berjualan nasi bungkus. Makanan itu laris dibeli para pekerja kemanusiaan di sekitar wilayah Lhok Nga. Melihat respons yang bagus, ia lalu menambah dagangannya dengan penganan kecil.
”Kami juga memasarkan makanan di sekolah-sekolah yang sudah beroperasi. Dari sini modal pun semakin terkumpul sedikit demi sedikit,” ujar Mukhlis.
Membangkitkan semangat
Melihat tabungan mulai berisi, Nelly dan Mukhlis lalu berusaha kembali mengumpulkan peralatan untuk membuat roti. Sisa lumpur yang masih menempel dibersihkan. Alat elektronik yang rusak pun diperbaiki.
”Saya kembali memulai usaha seperti pertama dulu membuat roti, pertengahan 2001. Bedanya, kalau dulu resep itu tercatat, sekarang saya harus bisa mengingat-ingat saja dan harus rajin mencoba,” katanya.
”Ternyata sambutannya cukup baik, banyak orang suka roti buatan kami,” tuturnya. Apalagi ketika sebuah perusahaan tepung terigu membuat program pengembangan usaha bagi para korban tsunami, Nelly kembali belajar membuat roti.
Terkumpulnya modal dan pengetahuan yang dia dapatkan dalam kursus menguatkan tak hanya semangat hidupnya, tetapi juga jiwa usaha Nelly. Ia lalu membeli peralatan dan bahan pembuat roti.
”Bulan September 2005 usaha membuat roti saya mulai lagi, kecil-kecilan saja. Hari pertama saya hanya membuat 60 bungkus roti,” ceritanya. Beberapa lembaga donor melihat semangatnya dan mereka membantu Nelly dalam bentuk barang.
”Saya makin percaya diri. Saya minta warga desa membantu membuat roti. Biar usaha ini berkembang dan mereka juga terbantu (secara ekonomi),” katanya. Ayahnya yang sakit pun kembali bersemangat melihat usaha Nelly. Tanpa diminta, sang ayah, Baharuddin Ganda (59), ikut mengantarkan roti ke warung-warung di sekitar kota Banda Aceh.
Sekitar 18 bulan kemudian, usahanya mulai menunjukkan hasil signifikan. Kalau awalnya dia hanya mampu membuat 60 bungkus, pada 2008 ini usaha Nelly yang diberi nama Nusa Indah itu bisa menghasilkan 15.000 bungkus roti per hari.
Menonton televisi
Sekarang usaha Nelly bisa dikatakan sudah berjalan. Sebelum tsunami datang, pabrik Nusa Roti milik keluarganya menghasilkan 3.000 bungkus roti yang dipasarkan di Banda Aceh.
”Saya sebenarnya tak pernah kursus membuat roti. Dari dulu pun saya membuat roti dengan cara mencoba-coba. Keluarga dulu yang mencoba, kalau enak, baru dibagikan kepada tetangga,” katanya.
Mengapa memilih usaha roti? Sebab, Baharuddin bekerja sebagai tukang mengantar roti milik sebuah perusahaan. Melihat peluang itu, Nelly awalnya mencoba membuat kue basah. Dia menitipkan kue basah buatannya kepada Baharuddin untuk dipasarkan juga.
”Tetapi, kue basah seperti donat, risoles, dan tahu isi itu tak tahan lama. Jadilah roti menjadi pilihan utama untuk menggantikan kue basah,” katanya.
Nelly tak ingat lagi berapa lama dia ”jatuh bangun” mencoba membuat roti hanya berdasarkan resep yang pernah dicatatnya di buku tulis. Resep itu dia dapatkan dari acara masak-memasak di TVRI.
Sekitar pertengahan 2001 barulah Nelly berani menjual roti buatannya. ”Saya mulai membuat dan mengedarkan sekitar 80 bungkus roti dengan tiga rasa. Bapak membantu mengedarkan ke warung-warung bersama roti produksi perusahaan lain yang memang sudah menjadi barang bawaannya,” kenangnya.
Lama-kelamaan justru roti buatan Nelly yang lebih disukai orang. Maka, Baharuddin lalu tak lagi membawa roti produk perusahaan lain. Ia hanya memasarkan produk anaknya yang diberi nama Nusa Roti.
”Untuk membuat 3.000 bungkus roti, saya dibantu empat orang (karyawan),” katanya menceritakan kondisi usahanya sebelum tsunami datang.
Namun, gempa dan tsunami telah merenggut semua usaha yang sudah dia rintis dengan susah payah. Bisa dikatakan seluruh modal dan harta milik keluarga Nelly musnah dalam sekejap.
Sekarang Nelly memang telah berhasil bangkit dan bisa kembali mengelola usaha roti yang selama bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidup keluarganya. Akan tetapi, bagaimanapun, peristiwa 26 Desember 2004 itu sebenarnya tak seluruhnya bisa lepas dari ingatan.
Semangat untuk memulai kembali kehidupan dari nol didapat Nelly Nurila dari orang-orang tercinta. Semua itu membuatnya mampu bangkit kembali dari keterpurukan.
”Berbekal berbagai dokumen yang menyatakan usaha saya sehat, tetap saja saya tidak mendapat bantuan modal dari bank. Saya tidak akan pergi ke sana (bank) lagi,” kata Nelly (33), penggerak pabrik roti Nusa Indah di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa waktu lalu.
Dia lalu berkisah, tsunami membuat loyang usaha keluarganya tersebar di mana-mana. ”Mixer yang dulu kami pakai ditemukan sekitar 500 meter dari rumah, di kaki bukit,” katanya.
Keluarga besarnya terpaksa mengungsi di penampungan yang dibangun lembaga donor internasional di sekitar tempat tinggal mereka. Sampai sekitar tiga bulan setelah tsunami, Nelly tak banyak bergerak dari barak pengungsi. Ayah dan adiknya bahkan harus menjalani perawatan di Pulau Jawa.
”Dia (ayahnya) stres, beberapa penyakit kambuh selama sesudah tsunami,” katanya.
Keluarganya bisa dikatakan tak punya uang pascabencana itu. Selama beberapa bulan, untuk biaya hidup, sebuah lembaga swadaya internasional memberikan uang gaji sebesar Rp 35.000 per hari bagi warga yang membantu membersihkan puing-puing rumah dan barang lain.
Selama itu pula, dia bersama suaminya, Mukhlis Ismail, serta dua anaknya pergi-pulang antara rumah dan barak pengungsian untuk membersihkan puing di sekitar rumah mereka.
”Uang itu (gaji mereka membersihkan puing) nantinya menjadi modal usaha,” katanya.
Meski awalnya dia sempat enggan membangun kembali usaha roti milik keluarga, dorongan dari suami dan keluarga membuatnya berubah pikiran. ”Suami saya tak henti-henti mengingatkan untuk mulai berusaha lagi,” katanya.
Dibantu Mukhlis, Nelly lalu memulai usaha dengan berjualan nasi bungkus. Makanan itu laris dibeli para pekerja kemanusiaan di sekitar wilayah Lhok Nga. Melihat respons yang bagus, ia lalu menambah dagangannya dengan penganan kecil.
”Kami juga memasarkan makanan di sekolah-sekolah yang sudah beroperasi. Dari sini modal pun semakin terkumpul sedikit demi sedikit,” ujar Mukhlis.
Membangkitkan semangat
Melihat tabungan mulai berisi, Nelly dan Mukhlis lalu berusaha kembali mengumpulkan peralatan untuk membuat roti. Sisa lumpur yang masih menempel dibersihkan. Alat elektronik yang rusak pun diperbaiki.
”Saya kembali memulai usaha seperti pertama dulu membuat roti, pertengahan 2001. Bedanya, kalau dulu resep itu tercatat, sekarang saya harus bisa mengingat-ingat saja dan harus rajin mencoba,” katanya.
”Ternyata sambutannya cukup baik, banyak orang suka roti buatan kami,” tuturnya. Apalagi ketika sebuah perusahaan tepung terigu membuat program pengembangan usaha bagi para korban tsunami, Nelly kembali belajar membuat roti.
Terkumpulnya modal dan pengetahuan yang dia dapatkan dalam kursus menguatkan tak hanya semangat hidupnya, tetapi juga jiwa usaha Nelly. Ia lalu membeli peralatan dan bahan pembuat roti.
”Bulan September 2005 usaha membuat roti saya mulai lagi, kecil-kecilan saja. Hari pertama saya hanya membuat 60 bungkus roti,” ceritanya. Beberapa lembaga donor melihat semangatnya dan mereka membantu Nelly dalam bentuk barang.
”Saya makin percaya diri. Saya minta warga desa membantu membuat roti. Biar usaha ini berkembang dan mereka juga terbantu (secara ekonomi),” katanya. Ayahnya yang sakit pun kembali bersemangat melihat usaha Nelly. Tanpa diminta, sang ayah, Baharuddin Ganda (59), ikut mengantarkan roti ke warung-warung di sekitar kota Banda Aceh.
Sekitar 18 bulan kemudian, usahanya mulai menunjukkan hasil signifikan. Kalau awalnya dia hanya mampu membuat 60 bungkus, pada 2008 ini usaha Nelly yang diberi nama Nusa Indah itu bisa menghasilkan 15.000 bungkus roti per hari.
Menonton televisi
Sekarang usaha Nelly bisa dikatakan sudah berjalan. Sebelum tsunami datang, pabrik Nusa Roti milik keluarganya menghasilkan 3.000 bungkus roti yang dipasarkan di Banda Aceh.
”Saya sebenarnya tak pernah kursus membuat roti. Dari dulu pun saya membuat roti dengan cara mencoba-coba. Keluarga dulu yang mencoba, kalau enak, baru dibagikan kepada tetangga,” katanya.
Mengapa memilih usaha roti? Sebab, Baharuddin bekerja sebagai tukang mengantar roti milik sebuah perusahaan. Melihat peluang itu, Nelly awalnya mencoba membuat kue basah. Dia menitipkan kue basah buatannya kepada Baharuddin untuk dipasarkan juga.
”Tetapi, kue basah seperti donat, risoles, dan tahu isi itu tak tahan lama. Jadilah roti menjadi pilihan utama untuk menggantikan kue basah,” katanya.
Nelly tak ingat lagi berapa lama dia ”jatuh bangun” mencoba membuat roti hanya berdasarkan resep yang pernah dicatatnya di buku tulis. Resep itu dia dapatkan dari acara masak-memasak di TVRI.
Sekitar pertengahan 2001 barulah Nelly berani menjual roti buatannya. ”Saya mulai membuat dan mengedarkan sekitar 80 bungkus roti dengan tiga rasa. Bapak membantu mengedarkan ke warung-warung bersama roti produksi perusahaan lain yang memang sudah menjadi barang bawaannya,” kenangnya.
Lama-kelamaan justru roti buatan Nelly yang lebih disukai orang. Maka, Baharuddin lalu tak lagi membawa roti produk perusahaan lain. Ia hanya memasarkan produk anaknya yang diberi nama Nusa Roti.
”Untuk membuat 3.000 bungkus roti, saya dibantu empat orang (karyawan),” katanya menceritakan kondisi usahanya sebelum tsunami datang.
Namun, gempa dan tsunami telah merenggut semua usaha yang sudah dia rintis dengan susah payah. Bisa dikatakan seluruh modal dan harta milik keluarga Nelly musnah dalam sekejap.
Sekarang Nelly memang telah berhasil bangkit dan bisa kembali mengelola usaha roti yang selama bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidup keluarganya. Akan tetapi, bagaimanapun, peristiwa 26 Desember 2004 itu sebenarnya tak seluruhnya bisa lepas dari ingatan.